Kalau lo tertarik dengan wisata yang bukan cuma visual, tapi juga menyentuh sisi spiritual dan kebudayaan, maka wisata religi dan budaya di Desa Adat Trunyan wajib banget masuk daftar perjalanan lo. Desa yang terletak di sisi timur Danau Batur, Kabupaten Bangli, Bali ini punya tradisi pemakaman yang super unik dan mungkin belum pernah lo bayangin sebelumnya: jenazah dibiarkan begitu saja di atas tanah tanpa dikubur ataupun dibakar.
Tapi jangan salah sangka dulu. Bukan berarti lo bakal nyium bau menyengat atau lihat pemandangan yang bikin gak nyaman. Justru, lo akan takjub gimana kearifan lokal masyarakat Bali Aga (Bali asli) di Trunyan mampu menjaga harmoni antara kehidupan, kematian, dan alam. Ini bukan sekadar ritual tua—ini adalah warisan spiritual yang hidup dan dijaga dengan penuh penghormatan.
Yuk, kita telusuri lebih dalam seperti apa pengalaman wisata religi dan budaya di Desa Adat Trunyan, dan kenapa tempat ini bisa bikin lo mikir ulang soal arti hidup, mati, dan hubungan manusia dengan alam.
Trunyan: Desa Bali Aga yang Menjaga Tradisi Leluhur
Sebelum bahas soal pemakamannya, lo harus tahu dulu kalau Desa Trunyan adalah salah satu desa Bali Aga—yaitu kelompok masyarakat Bali kuno yang gak banyak terpengaruh budaya luar (termasuk Hindu Majapahit). Jadi, struktur sosial, arsitektur, bahasa, sampai ritual di sini masih sangat otentik, nyaris seperti zaman sebelum kedatangan kerajaan-kerajaan Hindu ke Bali.
Desa ini bisa dicapai dengan naik perahu dari dermaga Kedisan, menyusuri tenangnya Danau Batur. Begitu nyampe, lo bakal langsung ngerasain suasana yang beda: sunyi, mistis, tapi juga damai. Rumah-rumah adat dengan atap jerami, pepohonan besar, dan suara angin di antara dedaunan bikin lo seolah-olah masuk ke waktu yang lebih lambat.
Dalam konteks wisata religi dan budaya di Desa Adat Trunyan, ini bukan destinasi yang sekadar buat selfie atau konten viral. Ini tempat kontemplasi. Lo dateng bukan cuma buat lihat hal yang “unik,” tapi juga buat menghormati sistem kepercayaan yang udah dijaga ratusan tahun.
Pemakaman Desa Trunyan: Tradisi ‘Mepasah’ Tanpa Dikubur atau Dibakar
Nah, inilah highlight dari kunjungan lo ke Trunyan: tradisi pemakaman mepasah, yaitu prosesi di mana jenazah orang yang meninggal diletakkan begitu saja di atas tanah, di bawah pohon besar yang disebut Taru Menyan.
Gimana Prosesnya?
- Jenazah dibaringkan di atas tanah, tidak dikubur, tapi dilindungi dengan kurungan bambu (ancak saji).
- Hanya jenazah orang dewasa yang meninggal wajar (bukan karena kecelakaan atau bunuh diri) yang bisa dimakamkan di tempat ini.
- Tidak ada pengawetan, tidak ada formalin, tidak ada pembakaran.
- Ajaibnya, tidak ada bau busuk sama sekali. Ini dipercaya karena keberadaan pohon Taru Menyan, yang punya aroma alami kuat dan menyerap bau pembusukan.
Setelah jenazah membusuk dan menyatu dengan tanah, kurungan bambu dibuka dan diganti dengan jenazah berikutnya. Tengkorak dan tulang yang tersisa dikumpulkan dan ditaruh rapi di sekitar area pemakaman.
Buat lo yang wisata religi dan budaya di Desa Adat Trunyan, ini adalah bentuk nyata dari konsep “kembali ke alam” secara harfiah. Kematian bukan akhir yang tragis, tapi proses alami untuk menyatu kembali dengan bumi, tanpa gangguan, tanpa paksaan.
Makna Spiritualitas: Harmoni Alam, Manusia, dan Leluhur
Tradisi pemakaman di Trunyan punya filosofi dalam yang mungkin bisa mengubah cara lo melihat hidup dan mati. Masyarakat di sini percaya bahwa manusia berasal dari alam dan harus kembali ke alam dengan cara yang tidak merusak. Gak ada asap pembakaran, gak ada tanah yang digali dalam-dalam—semua dijalani dengan penuh penghormatan.
Beberapa nilai luhur yang terkandung:
- Kesederhanaan dalam kematian, tanpa kemewahan atau pamer sosial.
- Kesadaran ekologis, gak meninggalkan jejak destruktif untuk bumi.
- Kedekatan dengan leluhur, karena tulang-belulang tetap dijaga dan dihormati.
- Keseimbangan hidup dan mati, di mana kematian dianggap sebagai bagian dari siklus, bukan sesuatu yang harus ditakuti.
Buat lo yang lagi cari makna hidup, atau pengen menyelami tradisi spiritual yang jarang disentuh oleh budaya modern, wisata religi dan budaya di Desa Adat Trunyan bisa jadi pengalaman yang sangat reflektif dan menyentuh.
Etika Berkunjung: Hormat, Sopan, dan Hening
Karena ini adalah situs spiritual dan bukan tempat wisata biasa, lo harus bener-bener jaga sikap dan etika saat berkunjung. Ini penting banget buat menghargai kepercayaan lokal.
Hal-hal yang harus diperhatikan:
- Berpakaian sopan dan tertutup, hindari pakaian terbuka atau mencolok.
- Jangan tertawa keras atau bersenda gurau, apalagi di area pemakaman.
- Hindari menyentuh tulang atau kurungan bambu, cukup lihat dan abadikan dengan penuh hormat.
- Minta izin sebelum motret, apalagi kalau ada aktivitas ritual sedang berlangsung.
- Gunakan jasa guide lokal, selain bantu lo memahami konteks budaya, juga sebagai bentuk dukungan terhadap ekonomi warga.
Datenglah dengan hati terbuka. Jangan cuma cari hal “aneh,” tapi cari makna di baliknya.
Aktivitas Lain di Trunyan: Alam dan Budaya yang Masih Perawan
Selain pemakaman, wisata religi dan budaya di Desa Adat Trunyan juga bisa lo perluas dengan menjelajahi sisi lain desa ini. Karena letaknya di pinggir Danau Batur dan dikelilingi pegunungan, Trunyan juga punya panorama alam yang luar biasa.
Beberapa aktivitas yang bisa lo lakukan:
- Trekking ringan menyusuri hutan sekitar dan melihat pohon Taru Menyan legendaris.
- Menyusuri Danau Batur naik perahu, sambil menikmati suasana sunyi dan kabut pagi.
- Belajar tenun tradisional Bali Aga dari ibu-ibu desa.
- Menikmati kuliner khas Trunyan, yang masih pakai bumbu alami dan teknik memasak tradisional.
- Mengenal rumah adat Bali Aga, dengan arsitektur khas dan filosofi tata ruang yang unik.
Di sini, waktu berjalan lambat. Lo bisa rehat sejenak dari dunia yang serba cepat, dan kembali ke ritme alam.
Penutup: Kematian yang Tidak Menakutkan, Tapi Dihormati
Wisata religi dan budaya di Desa Adat Trunyan bukan untuk semua orang. Tapi buat lo yang siap membuka hati dan pikiran, tempat ini bisa jadi salah satu pengalaman paling menggugah dalam hidup. Karena lo akan menyaksikan sendiri bagaimana kematian diperlakukan bukan dengan takut, tapi dengan tenang, hormat, dan penuh kesadaran bahwa kita adalah bagian dari siklus semesta.
Trunyan bukan tentang mistis atau horor. Trunyan adalah tentang kejujuran terhadap kehidupan, tentang kesederhanaan, dan tentang cinta pada bumi. Dan mungkin, dari sana lo akan belajar lebih banyak tentang arti hidup yang sebenarnya.